solopos.com |
Tiba-tiba di akhir pertandingan ada banyak sekali pecahan genteng dan batu yang beterbangan di udara yang berasal dari luar stadion. Kami yang berada di dalam stadion langsung berhamburan menghindarkan diri dan mencari tempat untuk berlindung dari lemparan batu dan pecahan genteng itu. Yang paling banyak dituju adalah berada tepat di balik dinding stadion, karena dirasa tempat tersebut tempat yang paling aman.
Adanya pelemparan batu dan pecahan genteng ke dalam stadion membuat pihak keamanan menjadi beringas dan merangsek ke arah penonton bermaksud mengusir mereka keluar dari stadion. Dengan menggunakan pentungan yang digerakkan mobat-mabit sedemikian rupa bisa mengenai bagian tubuh manapun dari kami yang ada di dalam. Sementara kami tak tahu menahu dengan kejadian adanya pelemparan dari luar stadion.
Kami yang di dalam tidak pernah tahu apa yang menjadi penyebab timbulnya kerusuhan dari suporter di luar stadion dengan melakukan pelemparan ke dalam stadion, yang bisa saja suporter yang ada di dalam stadion adalah teman, saudara atau tetangga mereka. Yang pasti kami yang di dalam adalah pendukung tim yang sama dengan yang ada di luar stadion.
Asumsi yang berkembang setelah berakhirnya kericuhan itu yang menjadi pemicu adalah larangan untuk masuk dari pihak panitia pelaksana dan pihak keamanan kepada suporter yang tidak memiliki tiket atau bisa jadi karena kehabisan tiket masuk. Suporter yang ngamuk membakar dan menghancurkan loket penjualan tiket serta melakukan pelemparan ke dalam stadion.
Kejadian itu saya alami ketika sepulang kuliah mampir ke Jatidiri bermaksud untuk menonton pertandingan klub kebanggaan publik Semarang yaitu PSIS. Saya lupa siapa lawan PSIS kala itu, hanya waktu kejadiannya di kisaran tahun 1995-1996 an.
***
Terjebak di situasi seperti yang saya ceritakan sebelumnya itu yang kalau dituliskan dalam sebaris kalimat mungkin akan menjadi "Maju Kena Mundur Kena", seperti judul film Warkop DKI.
Bagaimana tidak, kami yang di dalam stadion terjebak dan berlindung dari ancaman kena lemparan batu dan pecahan genteng dari luar stadion, sementara dari dalam stadion sendiri kami juga harus terus bergerak dan berjuang menghindar dari amukan pihak keamanan yang mencoba mengusir kami dengan pentungannya.
Kalau pun terpaksa masih terkena pukulan atau lemparan, terima saja, itu adalah nasib dan harga yang harus kami terima dalam mendukung tim kebanggaan kami.
Lantas apakah dengan kejadian tersebut membuat saya dan orang-orang lain yang mencintai sepak bola kapok untuk pergi ke stadion, dan memilih kenyamanan dengan menyaksikan pertandingan di dalam kamar di depan televisi?
Tidak. Saya yakin masih banyak yang tidak kapok untuk menonton langsung sepak bola di stadion. Bahkan saya sering mengajak anak-anak untuk ikut pergi ke stadion dan menikmati euphoria di sana.
***
No comments:
Post a Comment